Habib Rizieq dan Kegagalan Menjadi Imam Besar
Imam
Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan
kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin
(23/1). Habib Rizieq menjalani pemeriksaan selama empat jam sebagai saksi
terkait dugaan kasus penghinaan rectoverso di lembaran uang baru dari Bank
Indonesia, yang disebutnya mirip logo palu arit. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/17.
Hari Senin, 29 Mei 2017. Polisi menetapkan
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab sebagai tersangka
kasus chat mesum
dengan Firza Husein. Habib Rizieq jadi tersangka setelah penyidik Direktorat
Kriminal Khusus melakukan gelar perkara. Kemudian meningkatkan status Rizieq
dari saksi ketersangka (Duta, 30/5/17).
Habib Rizieq resmi tersangka atas kasus chat pornografi yang
didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 27 ayat (1)
juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selama ini, polisi sudah melakukan serangkaian
proses hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP. Mulai penyelidikan, penyidikan,
gelar perkara, hingga menetapkan status tersangka kepada Rizieq. Termasuk
pemeriksaan saksi terlapor hingga ahli (Jawa
Pos, 31/5/17) ikhtiar baik kepolisian ini harus kita apresiasi
sebagai manifestasi supremasi hukum di Negara ini.
Apapun alasannya, penetapan kasus
tersangka kepada Habib Rizieq, harus dipertanggungjawabkan kepada publik
utamanya kepada para kiai, ulama’ dan imam besar di Negara ini. Sebab, dalam
konteks sosial-budaya kita. Tanpa bermaksud mengeneralisir, merusak nama imam
besar akan berimplikasi negatif terhadap imam besar lain, yang notabene
istiqomah menjaga gelar tersebut dengan penuh tanggungjawab.
Pemberian
gelar imam besar oleh masyarakat merupakan gelar yang sangat sakral dan mulia.
Menurut Durkheim sosiolog asal Prancis, sesuatu yang dianggap sakral ia
dibentuk oleh masyarakat bukan melalui sesuatu yang instan. Tetapi, dengan
peroses yang panjang melalui sikap dan perasaan masyarakat. Sesuatu yang sakral
akan melahirkan sikap hormat, kagum, dan bahkan takut. Di sisi lain, sesuatu
yang profan tidak menimbulkan sikap tersebut. Oleh karenanya, ia harus dijaga
dari berbagai bentuk sikap dan sifat yang hina.
Secara
faktual, tidak semua orang dengan mudah mendapatkan gelar imam besar, hanya
orang-orang tertentu yang bisa mendapatkannya. Karena gelar tersebut tidak ada
sekolahnya. Ia diperoleh dengan jalan kedekatan kepada sang pencipta dan
memiliki kedalaman ilmu agama. Dalam perspektif lain ia merupakan orang-orang
pilihan yang menjaga secara sempurna dan konsisten hablum
minallah, hablum minannas, dan hablum
minal ‘alam. Sehingga
tidak pelak jika mendset masyarakat tentang imam besar, selalu
hal-hal yang sakral.
Penetapan
tersangka kepada Rizieq atas kasus chat mesum merupakan tindakan yang sangat
tidak dibenarkan dalam hukum di Negara ini. Apalagi dalam agama islam yang
sangat melarang keras pemeluknya. Perbuatan tersebut sangat tidak layak
dilakukan oleh figur publik sekelas Rizieq apalagi menyandang gelar imam besar
yang memiliki ribuan pengikut di republik ini.
Menanggapi
kasus tersebut, pengikut Habib Rizieq sampai saat ini belum menerima, dengan
dalih mereka tidak percaya imam besarnya melakukan tindakan tersebut. Sebagai
bentuk protes, Ketua Presidium Alumni 212 Ansufri Idrus Sambo, mengatakan
penetapan Rizieq sebagai tersangka merupakan upaya pemerintah mengkriminalisasi
para ulama dan aktivis Islam.
Ia
berupaya akan melawan secara konstitusional dan ia menilai pemerintah melakulan
politik balas dendam terhadap pimpinan Front Pembela Islam yang berperan
menjebloskan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke penjara. Bahkan mereka
mengklaim Presiden Joko Widodo dianggap mengambil sikap berhadap-hadapan dengan
ulama dan aktivis Islam (Tempo.co, 31/5/17).
Pertanyaannya
sekarang. Apakah termasuk kriminalisasi kalau kasus tersebut adalah fakta?
Pertanyaan ini harus diurai secara konprehensif dan berdasar pada data yang ada
saat ini. Baik yang beredar di media online, maupun media cetak. Agar tidak
menimbulkan kontraproduktif dengan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan kita.
Sebab, kalau itu fakta dan masih ada perlawanan dari pengikut Rezieq inilah
yang dinamakan gerakan sublimasi, yakni sebuah taktik dan strategi untuk
mengalihkan mata publik dari sesuatu yang sesungguhnya menuju sesutu yang semu,
palsu, dan menipu. Bentuk perlawanan semacam ini merupakan gerakan yang tak
beradab dan tidak pantas dilakukan oleh siapapun apalagi Ormas Islam Front
Pembela Islam (FPI).
Terlepas
benar atau tidak, kasus chat mesum pornografi tersebut. Yang tidak
kalah signifikannya harus kita sadari, bahwa siapapun manusia tidak akan pernah
lepas dari salah dan dosa, karena itu sudah menjadi tabiat manusia. Manusia
dibekali nafsu, akal, dan hati nurani.
Berbeda,
dengan Malaikat, dan Syaitan. Sebagaimana dinyatakan oleh KH. A. Mustofa Bisri
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatuth Thalibin Leteh Rembang “Malaikat tak pernah salah, Syaitan tak
pernah benar, dan manusia bisa salah dan bisa benar”. Perihal tersebut juga
sudah diajarkan dalam rukun iman yang ke-6 bahwa iman yang terakhir yang sangat
krusial: percaya kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk (khairihi
wa syarihi) dan
itu harus kita imani.
Artinya,
siapapun manusia ia tidak terlepas dari salah dan dosa. Bahkan Rasulullah
sendiri mengatakan “setiap anak Adam akan melakukan kesalahan dan sebaik-sebaik
orang yang melakukan kesalahan adalah orang-orang yang melakukan taubat”.
Selain itu, Nabi juga pernah mengingatkan; “jangan sampai kecintaan seseorang
kepada sesuatu melebihi cintanya kepada Allah,” karena salah satu dampaknya ia
sulit menerima kenyataan yang sesungguhnya. Begitupun para pengikut Rizieq
jangan sampai kecintaan terhadap Rizieq melibihi cintanya kepada Allah karena
kecintaan yang berlebihan kepada selain Allah akan berakibat fatal terhadap keberislaman
kita.
Habib
Rizieq dan Kegagalan Menjadi Imam Besar
Ditetapkannya
Habib Rizieq sebagai tersangka dalam kasus yang hina tersebut, tentunya menjadi
pukulan yang sangat keras bagi Habib Rizieq dan pengikutnya. Dan Rizieq sudah
gagal menjadi imam besar sebab imam besar ucapan dan perilakunya harus
mencerminkan nilai-nilai keislaman sebagaimana diajarkan oleh baginda
Rasulullah SAW. Begitupun ucapan dan perilakunya selalu menjadi pedoman dan
uswah bagi pengikutnya. Karena kasus tersebut. ia sudah tidak layak dijadikan
tauladan apalagi menjadi imam besar.
Oleh
karena itu, menyikapi persoalan tersebut sudah saatnya kita menyandarkan ucapan
dan sikap kita kepada pesan Nabi: “katakanlah yang benar meskipun itu
pahit” (kulil haqqu walau kana murran). Kalau pesan ini bisa kita aplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, saya yakin persoalan apapun akan bisa teratasi
secara baik, pun kasus yang menimpa Rizieq saat ini.
Polisi
harus melaksanakan tugas secara adil dan bijaksana. Begitupun para pengikut
Habib Rizieq harus melakukan pembelaan sesuai dengan data dan fakta secara
akuntabel dan menghindari kaca mata kuda. Karena sekali lagi, siapapun yang
melakukan tindakan amoral apalagi tindakan pornografi yang menjijikkan dan tak
beradab sangat tidak layak menyandang gelar imam besar.

Komentar
Posting Komentar