Tantangan dan Peluang PMII
Oleh Misdar Mahfudz*
Sumber Gambar: https://plus.google.com/107084165458745637499
Pada
Hari Senin, 17 April 2017. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah
berumur 57 tahun, jika dianalogikan terhadap pertumbuhan manusia. PMII sudah memasuki
usia dewasa. Sehingga organisasi kepemudaan Islam ini sudah melewati masa
“merangkak” dan “tertatih-tatih” menuju masa “berlari”. Di umur yang sudah
dewasa ini, PMII diharapkan lebih dinamis untuk melakukan perubahan yang lebih
massif di semua level dan menjadi laboratorium pengetahuan umat.
PMII
diawali kata pergerakan, dengan dasar filosofis anggota/kader dituntut aktif
baik di dalam ruang kelas (kampus) maupun di luar ruang kelas (masyarakat).
Pergerakan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa arab adalah harokah, sesuai
dengan perkataan Akh. Muzakki guru besar UIN Surabaya (Jawa Pos, 8/4) makna harokah sebagai lawan kata sukun. Harokah
berarti pergerakan, sedangkan sukun menandakan tiadanya pergerakan. Harakah
memunculkan aktivisme, sedangkan sukun menandakan pasivisme. Maka, harakah
adalah bagian dari ikhtiar yang terukur dan aktif untuk menimbulkan perubahan
menyusul aktivisme, dan itu harus dilakukan oleh anggota/kader PMII.
Tantangan
PMII
Secara
embrional lahirnya PMII tidak bisa lepas dari peran kalangan kaum nahdliyin
yang pada saat itu menjadi mahasiswa. Selain pertimbangan konteks sosial. PMII
juga dimaksudkan menjadi kepanjangan tangan kaderisasi bagi NU. PMII bertugas
menanamkan lima prinsip Ahlussunah
wal jamaah (ASWAJA) kepada kaum muda: tawasuth
(moderat), tasamuh, (toleran), tawazun (keseimbangan), ta’adul (adil), serta amar mahruf nahi
mungkar. Nilai-nilai ini pula yang melandasi Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dalam
konteks hablum minallah (relasi
manusia dengan tuhan), hablum minannas
(relasi manusia dengan manusia), dan hablum
minal ‘alam (relasi manusia dengan alam).
Dominasi
kiai NU dalam PMII sangat besar. Selain dominasi nilai sebagai landasar
berpikir, para kiai NU menjadi penentu bagi berdirinya PMII. Proses berdirinya
PMII yang harus menunggu restu dari KH Idham Cholid (ketua Umum PB NU saat
itu). Bahkan upaya pendirian PMII sempat beberapa kali tertunda karena belum
ada restu.
Dominasi
itu ditopang oleh pertimbangan yang dapat diterima oleh semua lapisan waktu
itu, baik dari kalangan kaum muda (selanjutnya menjadi kader PMII) maupun dari
kalangan kiai (NU). Selain itu ada pertimbangan bahwa syarat kepemimpinan
adalah kapasitas dan kapabilitas yang dalam hal ini adalah ketinggian ilmu
agama yang melekat pada seseorang, pertimbangan ini sama sekali tidak ada
hubungannya dengan politik kepentingan golongan tertentu melainkan justru
pertimbangan transedental.
Selanjutnya
dominasi ini dimanifestasikan dalam hubungan struktural. PMII menjadi salah
satu badan otonom NU, sejajar dengan IPNU, GP Ansor, dan lainnya. Namun
kemudian PMII memutuskan independen karena ingin berdiri di atas semua golongan
tidak ingin menjadi underbow salah
satu partai politik (NU). Keputusan ini dalam konteks sosial-kultural sangat
tepat karena PMII bisa mandiri dan melaksanakan tugasnya sebagai organisasi
yang independen tanpa ada intervensi dari manapun.
Keputusan
yang dianggap radikal oleh NU tentu mendapatkan tantangan. Tak pelak bila
selanjutnya PMII disebut “anak yang tidak tahu diri” untuk menjawab pertikaian
itu, PMII kembali meneguhkan deklarasi interdependensi, yakni hubungan
ketergantungan dengan NU. Akan tetapi, hal itu belum mampu menjawab persoalan
pro-kontra relasi PMII-NU. Sehingga di tubuh PMII masih bermunculan kelompok
yang mengindentifikasi dirinya sebagai “anak” NU seperti KMNU. Tidak selesai di
situ pada Muktamar NU ke-33 2015 di Jombang tahun lalu, PMII kembali diminta
untuk menjadi badan otonom NU.
Menyikapi
persoalan tersebut Antonio Gramsci Filsuf dan teoritikus politik Italia (1891-1937)
dengan teori hegemoninya mengatakan; hegemoni tidak hanya dilakukan oleh negara
yang selama ini dikenal dengan ruling
class, namun bisa juga dilakukan oleh seluruh kelas sosial.
Hegemoni merupakan dominasi
oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman
kekerasan. Sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap
kelompok yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar, yang
bersifat moral, intelektual, serta budaya. Di sini penguasaan tidak
dengan kekerasan, melainkan dengan bentuk-bentuk persetujuan yang
dikuasai, baik sadar maupun tidak. dominasi NU terhadap
PMII menjadi benalu bagi perkembangan PMII, sebab selama ini sudah mampu
menghegemoni anggota/kader. Apabila tetap dibiarkan, PMII yang sudah menjadi
salah satu OKP terbesar di Indonesia tidak akan kreatif dan mandiri, karena
sudah didikte sesuai dengan kehendak NU. Dan inilah yang dinyatakan oleh
Gramsci sebagai penguasaan tanpa melalui kekerasan.
Peluang
PMII
Harus
diakui kiprah PMII di masa lalu dalam memanifestasikan zikir, fikir, dan amal
sholeh tidak perlu diragukan lagi. Merespon keguncangan politik waktu itu,
bersama OKP lain, PMII membentuk kelompok Cipayung, mendirikan KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia). Secara perorangan peran (alm) Mahbub Junaidi maupun
(alm) Zamroni yang keduanya menjadi ketua umum PB PMII, mampu menunjukkan
karakter kepemimpinan yang mumpuni. Mereka dijuluki Sang Konsolidator
pergerakan kaum muda. misalnya upaya Mahbub Junaidi menyelamatkan HMI dari
tekanan rezim Orde Lama.
Sejarah
mencatat era merangkak bagi PMII justru
menjadi era emas dengan upaya mempertahankan kesatuan bangsa, menyelamatkan
kelompok-kelompok civil society (kaum mustad’afin) yang terancam
eksistensinya, maupun upaya membela kaum marginal. Manajemen organisasi dengan
model kepemimpinan yang kuat mengantarkan PMII sebagai salah satu OKP yang
diperhitungkan. Sayangnya, justru di usia yang ke-57 tahun ini, PMII semakin
tak berdaya. Padahal, selain memiliki NDP, PMII juga telah merusmuskan pradigma
kritis transformatif sebagai pisau analisis dalam menjalankan organisasi, baik
hubungan dengan kader/anggota maupun dengan OKP dan institusi lain di luar PMII
secara komunal.
Terkait
itu, Anthony Giddens Sosiolog Inggris (1979) memberikan solusi dalam teori
strukturasinya, untuk menggerakkan perubahan amatlah penting peran aktor (agency) pun sistem, sebab pengaruh
keduanya saling mengandaikan. Aktor yang baik tanpa didukung dengan sistem yang
ada di tubuh PMII maka, juga kurang memiliki dampak yang signifkan untuk PMII.
Oleh karena itu, PMII sudah saatnya
memilih pemimpin transformatif, bukan yang lihai melakukan aktivitas
transaksional. Pun dibutuhkan pemimpin yang visioner, jujur, kapabel, serta
mempunyai keberanian mengambil pilihan keputusan di segala situasi bukan karena
faktor pragmatis. Yang tidak kalah urgen PMII harus menghindari intervensi
golongan termasuk menjadi badan otonom NU, ini peluang yang tidak ternilai
harganya untuk menjaga marwah PMII. Dengan sikap itu PMII akan disegani oleh
OKP lainnya, karena konsisten menjalankan roda organisasi secara independen.
Sebab kalau itu dibiarkan maka, PMII akan selalu terhegemoni olehnya dan PMII
akan sulit menjadi organisasi yang besar dan disegani.
*)Sebelumnya Artikel ini dimuat di Koran Kabar Madura, 20 April 2017.
* Sekretaris
Laskar Santri Nusantara Jawa Timur;
Akademisi di Pascasarjana
Sosiologi
FISIP UNAIR
Surabaya.

Komentar
Posting Komentar