Pamekasan Kota Gerbang Salam, Masih Layakkah?
Oleh
Misdar Mahfudz[1]
Alumni
Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura.
Sedang
Menempuh Program Pascasarjana Sosiologi FISIP UNAIR Surabaya
Secara
resmi pada tanggal 4 November 2002, kabupaten Pamekasan Madura mendeklarasikan
satu upaya bersama menuju syariat Islam, yang dikemas dalam Gerakan Pembangunan
Masyarakat Islami (Gerbang Salam). Kabupaten Pamekasan Madura memilih sebagai
kota Gerbang Salam sebagai wujud
pembangunan masyarakat islami, berperadaban, dan menolak segala bentuk perilaku
melawan hukum: tindakan kriminal, asusila pun juga korupsi yang sangat
membahayakan bagi masa kini dan masa depan bangsa. Setelah resmi dideklarasikan
berdirilah gapura besar sebagai simbol Pamekasan kota islami yang bertuliskan,
Anda Masuk Kota Pamekasan Bumi Gerbang Salam. Tak pelak, masyarakarat pun memberikan
julukan kota Gerbang Salam.
Sebagai
gerakan konkret pemerintah kabupaten Pamekasan membuat beberapa Perda yang
mengatur usaha-usaha di Pamekasan, guna meminimalisir aktifitas asusila, salah
satunya adalah Perda perhotelan, yang mengatur
tentang pengunjung hotel bila membawa pasangan harus menunjukkan surat
keterangan pernikahan, larangan menjual minuman keras, dan masih banyak Perda
lainnya untuk melegitimasi julukan tersebut (eMadura.com, 15/10/14).
Namun,
semenjak Gerbang Salam itu diproklamirkan masyarakat Pamekasan yang berada di
pulau Madura ini, tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam mewujudkan
masyarakat yang islami. Bahkan, berbagai kasus bermunculan. Misal, salah
satunya, tindakan asusila yang dilakukan oleh oknom pelajar-mahasiswa kumpul kebo di rumah kos, kota Pamekasan,
yang tertanggap basah oleh Satpol PP Pemkab
Pamekasan (Republika, 20/11/13),
bahkan, Polisi Pamong Praja (Pol PP) mengindentifikasi terdapat 26 warung
remang-remang yang dijadikan tempat transaksi esek-esek. Warung tersebut
menyebar di beberapa lokasi. Salah satu tempat yang jadi sarang transaksi
esek-esek yakni di pasar 17 Agustus kelurahan Bugih dan kecamatan kota Pamekasan
(timesindonesia.co.id, 3/3/2016).
Selain
itu, yang lebih ironis, hari Rabu (2/8),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT)
terkait dugaan korupsi dana desa dan menetapkan Bupati Pamekasan Achmad Syafii
Yasin, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Kejaksaan
Negeri (Kejari) Pemakasan Rudy Indra, dan Kepala Desa Dasok, Pamekasan, Agus
Mulyadi, sebagai tersangka suap kepada penegak hukum atas penyelewengan dana
desa sebesar Rp 100 juta (Kompas, 3/8).
Operasi
Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK di kabupaten Pamekasan merupakan kesekian
kalinya di republik ini. Masyarakat Indonesia secara komunal harus mendukung
untuk menghalau penyakit akut yang bernama korupsi. Sebab, korupsi juga salah satu
penyakit peradaban yang dapat melumpuhkan bangunan sebuah bangsa dan negara,
korupsi sudah menjadi semacam aksioma. Oleh karena itu, perang melawan korupsi
harus menjadi salah satu agenda besar bangsa ini.
Tindakan
yang telah dilakukan oleh orang nomor satu di Pamekasan Madura dan para penegak
hukum tersebut, sungguh sangat
memalukan. Apalagi, dengan julukan Pamekasan kota Gerbang Salam yang selalu
didengung-dengungkan. Apakah ini hanya simbolis an sich? Sebagai kamuflase untuk menarik publik agar Pamekasan
terkesan kabupaten yang bersih dari tindakan melawan hukum. Kalau benar seperti
ini adanya. Maka, masih layakkah Pamekasan dijuluki sebagai kota Gerbang Salam?
Melihat
berbagai femomena yang selama ini terjadi. Maka, menjadi kurang layak Pamekasan
dijuluki sebagai kota Gerbang Salam, sebab kota Gerbang Salam yang dimaksud,
mestinya harus mampu mengaplikasi hal-hal berikut:
Pertama,
sebagai kota yang juluki Gerbang Salam harus benar-benar mewujudkan masyarakat
yang islami: yang perilakunya sesuai dengan tuntunan Islam: selalu berupaya
melakukan amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah “kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran: 110).
Kedua,
kota Gerbang Salam harus menjunjung tinggi sikap moderat, jujur, amanah, dan adil. Ketiga, peka terhadap kehidupan sosial,
terutama kepada fakir miskin dan para kaum dhuafa, yang tak jarang semakin
terbaikan, pun membangun kesalehan sosial yang ditunjukkan dengan perilaku yang
baik, tanpa adanya diskriminasi baik karena etnis, suku, ras, dan agama. Tak
bisa dipungkiri, saat ini kita hidup dalam masyarakat yang sangat pluralis,
karena itulah, sikap toleran sangat krusial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai
contoh, pada masa Rasulullah masyarakat Madinah, juga terdiri dari masyarakat
pluralis. Meraka terdiri dari delapan suku bangsa Arab dan tiga suku bangsa
Yahudi. Namun, dengan sikap toleransi yang baik. Suku-suku tersebut dapat
disatukan menjadi satu tatatan masyarakat yang rukun dan hidup secara damai
berdampingan.
Jadi,
kota Gerbang salam haruslah mencintai kebaikan (al-mushlih), cinta damai, dan menghargai segala bentuk perbedaan. Dan ini diperjelas dengan firman Allah “hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia dianta kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui dan lagi maha mengenal” (QS. Al-Hujurat: 11).
Kota yang baik, senantiasa menjadikan
kehidupan masyarakatnya dalam keadaan marhamah
dan terus menebar kasih sayang antar sesama dan ini mutlak adanya untuk
diwujudkan di kota yang menamakan dirinya sebagai kota Gerbang Salam. Keempat, menghindari berbagai tindakan
yang melawan hukum, seperti tindakan kekerasan, asusila, dan tindak pidana
korupsi.
Keempat
aspek tersebut, sangat signifikan untuk dijadikan bahan refleksi, sudahkah
kabupaten Pamekasan memenuhi empat unsur tersebut? Empat unsur penting tersebut setidaknya menjadi
standarisasi dalam memberikan julukan kota islami. Namun, jika perkara itu
belum bisa direalisasikan dengan baik, ditambah orang nomor satu dan penegak
hukum di Kabupaten Pamekasan, ditetapkan sebagai tersangka atas tindak pidana
korupsi. Maka, sekali lagi, Kabupaten Pamekasan yang berada di pulau Madura
ini, belum layak disebut sebagai kota Gerbang Salam.
[1] Sebelumnya
tulisan ini diterbitkan di media online bisa dicek: https://lingkarjatim.com/lingkar-utama/pamekasan-kota-gerbang-salam-masih-layakkah/

Komentar
Posting Komentar